Posted by : cihuynutkid Thursday 9 May 2013



Getek-getek bamboo di sungai Ciliwung tempat mandi warga, mencuci, buang hajat, dan mengambil wudhu kini sudah menghilang di Jakarta. Ciliwung tempo dulu sangat bersahabat dengan penduduk setempat. Bahkan, ikut andil dalam memberikan rezeki kepada tukang binatu yang hingga tahun 1950-an banyak kita dapati mereka mencuci pakaian di Ciliwung. Ciliwung yang mengalir dari daerah selatan di Kwitang menghubungkan Parapatan dan Pejambon. Tiap Ahad pagi, ribuan warga Jakarta mendatangi Kwitang untuk menghadiri majelis taklim di Mesjid Kwitang yang sudah berlangsung lebih satu abad. Pendiri majelis ini adalah Habib Ali Alhabsyi putra Betawi kelahiran Kwitang yang lahir 1870 dan wafat 1968. Disamping majelis taklim, dia juga membangun sekolah Islam dengan sistem kelas untuk putra dan putri. Sayang madrasah modern yang telah banyak menghasilkan para ulama Betawi sejak masa Jepang hingga kini tidak berhasil dilanjutkan oleh para penggantinya.

Kampung Kwitang juga terkenal dengan kisah Nyai Dasima yang terjadi pada 1813 di masa pemerintahan Inggris (Letnan Gubernur Thomas Raffles). Dasima, gadis dari desa Kuripan, Parung, Bogor dipelihara dan sekaligus menjadi nyai (kawin tanpa di nikahi alias selir), oleh Meneer Edward Willem yang tinggal di Pejambon.  Samiun, anak Kwitang yang menjadi kusir sado dan kerap ditumpangi sang nyai, jatuh hati. Kemudian Samiun dan Dasima saling kasmaran. Anak Kwitang ini akhirnya berhasil menikahi Nyai Dasima. G. Francis yang menulis naskah tentang Nyai Dasima dan kemudian di tulis ulang oleh seniman Betawi almarhum S.M. Ardan, digambarkan sebagai dara yang berparas cantik, berambut panjang, dan kulit kuning langsat. Sayangnya, istri pertama Samiun yang bernama Hayati begitu cemburu hingga menyuruh seorang jagoan Kwitang, Bang Puase, untuk membunuh Nyai Dasima. Dia dibunuh ketika sedang berduaan dengan suaminya, Samiun, naik sado untuk pergi ke kampung Kwitang untuk menonton “Cerita Amir Hamzah”.

Lokasi pembunuhan kira-kira di bawah jembatan Kwitang perempatan (dekat toko buku Gunung Agung dan Markas Marinir Parapatan). Kisah tragis ini telah beberapa kali difilmkan, disamping sandiwara dan sinetron. Bang Puase sendiri akhirnya di hukum pancung di Gedung Bicara (kini Museum Sejarah DKI Jalan Fatahilah 1), Jakarta Barat. Kalau sekarang kita mendatangi Kwitang, Ciliwung sudah tidak lagi bersahabat. Di samping getek-getek bamboo yang menghilang, Ciliwung kotor seperti air comberan dan tidak terbayangkan dulu warga sering berenang sambil ngebak di kali yang jernih dan dalam.

Di copy dari buku “Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia” karya Alwi Shahab

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

About

Menapaki tilas sejarah, seni, misteri, budaya, teknologi dan informasi umum

Total Pageviews

Recent Comments

Followers

- Copyright © bungpuyuh -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -